## Mengungkap Jejak Sejarah Brunei: Sebuah Perjalanan Melalui Manuskrip Kuno dan Catatan Sejarah
Negara Brunei Darussalam, yang juga dikenal sebagai Bruni atau Berunai dalam catatan Melayu kuno, merupakan salah satu kerajaan maritim berpengaruh di pesisir utara Pulau Kalimantan. Keberadaannya telah tercatat sejak lama, bahkan dalam catatan Dinasti Song China pada tahun 977 Masehi yang menyebut pulau besar ini sebagai Bo-ni atau Pu-ni. Nama Kalimantan sendiri merupakan sebutan modern untuk pulau yang kaya akan sejarah dan budaya ini. Sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara, wilayah kekuasaan Kerajaan Bruni jauh lebih luas daripada Negara Brunei Darussalam yang kita kenal saat ini.
Artikel ini akan menyelami kedalaman sejarah Brunei melalui penemuan-penemuan terbaru yang terungkap dari penelitian manuskrip kuno. Penelitian yang dilakukan oleh Annabel Teh Gallop, kurator dan peneliti di British Library, terhadap salinan manuskrip koleksi Sir Hugh Low, telah membuka tabir beberapa fakta sejarah yang selama ini belum terungkap. Studi tersebut, berjudul “Silsilah Raja-raja Brunei; The Manuscript of Pengiran Kesuma Muhammad Hasyim,” merupakan studi mendalam atas salinan manuskrip pusaka kerajaan Brunei yang diberikan kepada Sir Hugh Low, seorang pejabat Sekretaris Negara Sarawak di era kolonial Inggris.
Salinan manuskrip berharga ini dibuat pada paruh kedua abad ke-19 dan dipublikasikan oleh Low pada tahun 1880. Temuan ini menambah kekayaan informasi sejarah Brunei, melengkapi studi-studi sebelumnya seperti penelitian Amin Sweeney pada tahun 1968 yang telah mempublikasikan manuskrip-manuskrip serupa.
**Jejak Sejarah Brunei dalam Catatan Kuno:**
Sebelum menjadi kesultanan yang kita kenal sekarang, wilayah yang kini menjadi Brunei telah memiliki sejarah panjang. Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, yang pengaruhnya membentang dari Selat Malaka hingga Kepulauan Sulu, beberapa pemukiman di Teluk Brunei dikenal sebagai Vijayanegara. Naskah Negarakretagama, karya sastra dari masa Kerajaan Majapahit (1365 M), menyebut wilayah ini sebagai Buruneng. Nusa Tanjungnagara, sebutan lain untuk pulau Kalimantan (pulau ketiga terbesar di dunia), kemudian berkembang menjadi Kerajaan Tanjungpura di bagian barat pulau.
**Perang Saudara dan Perpecahan Kerajaan:**
Salah satu temuan penting dari manuskrip Sir Hugh Low adalah catatan mengenai perpecahan Kerajaan Brunei setelah perang saudara di akhir abad ke-17. Kematian Sultan Muhammad Ali menandai titik balik yang membagi kerajaan menjadi dua kelompok: keturunan Raja Pulau dan keturunan Raja Brunei. Sir Hugh Low mencatat bahwa perpecahan ini masih terasa dampaknya hingga dua abad kemudian, menunjukkan betapa signifikan peristiwa tersebut dalam sejarah Brunei.
**Sir Hugh Low: Naturalis, Penjelajah, dan Kolektor Sejarah:**
Sir Hugh Low (1824-1905), seorang naturalis dan penjelajah ternama di Borneo, menghabiskan lebih dari tiga puluh tahun di pulau ini. Kedatangannya pertama kali ke Sarawak diperkirakan antara tahun 1843 atau 1844. Selain sebagai naturalis yang mengumpulkan spesimen flora dan fauna, Low juga menjabat sebagai Sekretaris Negara Sarawak (1848-1877) dan kemudian Residen Inggris untuk Perak. Ia juga dikenal sebagai pendaki pertama Gunung Kinabalu pada tahun 1851, dengan puncak tertinggi dan lembah terdalam gunung tersebut dinamai atas namanya. Ketertarikannya pada sejarah dan budaya Melayu membawanya mengumpulkan berbagai manuskrip kuno Kerajaan Brunei, yang kemudian dipublikasikannya setelah pindah ke Perak pada tahun 1880.
Low mempublikasikan lima kumpulan manuskrip, termasuk terjemahan Inggris dari “Silsilah Raja-raja Brunei,” catatan sejarah sultan-sultan Brunei, daftar penguasa Islam Brunei, serta terjemahan dan transkripsi Prasasti Sejarah (Batu Tarsilah) yang ditemukan di Makam Sultan Jamalul Alam. Meskipun Low tidak mengungkapkan sumber utama manuskripnya, penelitian menunjukkan bahwa Pengiran Kasuma kemungkinan besar adalah orang yang memberikan manuskrip “Silsilah” kepadanya.
**Kontribusi Amin Sweeney dan Ooi Keat Gin:**
Selama bertahun-tahun, akses terhadap sumber utama berbahasa Melayu tentang Silsilah Raja-raja Brunei terbatas. Baru pada tahun 1968, Amin Sweeney mempublikasikan dua manuskrip dari London: MS 25032 (SOAS) dan MS 123 (RAS).
Profesor Ooi Keat Gin, sejarawan dari Universiti Sains Malaysia, dalam karyanya “Brunei: History, Islam, Society, and Contemporary Issues” (2015), menganalisis dua manuskrip awal “Silsilah…”. Salah satu temuan menarik adalah penjelasan leluhur kesultanan Brunei yang minim unsur mitologis, menunjukkan pengaruh perkembangan Islam. Ooi Keat Gin menghubungkan penulisan naskah ini dengan konteks penulisan sejarah sezaman di Aceh, mengaitkannya dengan karya Bustanus Salatin karya Nurrudin Ar-Raniri. Ia juga mencatat nama Datuk Imam Yakub sebagai penulis naskah “Silsilah…” pada 1735 M, yang kemudian direvisi dan diteruskan oleh beberapa penulis lainnya.
Dalam buku lain, “Early Modern Southeast Asia” (2015), Ooi Keat Gin memberikan petunjuk tentang pernikahan pendiri Kerajaan Brunei dan kaitannya dengan berdirinya koloni Cina di muara Sungai Kinabatangan sekitar tahun 1375 M, yang berperan penting dalam distribusi komoditas berharga seperti getah kamper.
Melalui manuskrip kuno dan penelitian para sejarawan, kita dapat semakin memahami perjalanan panjang dan kompleks sejarah Brunei, sebuah kerajaan maritim yang telah memainkan peran penting di Asia Tenggara. Penelitian berkelanjutan akan terus mengungkap lebih banyak detail dan menambah pemahaman kita akan warisan budaya dan sejarah bangsa Brunei.